MARQUEE

BISMILLAHIRAHMANIRAHIM | ASSALAMUALAIKUM WR WB | JIKA SUDAH BACA TINGGALKAN JEJAK | TERIMA KASIH

Pages

Blogger templates

Jumat, 24 Oktober 2014

Kebudayaan Islam di Nusantara


Pengaruh Islam dalam kebudayaan nusantara telah berlangsung sejak beberapa abad yang lampau. Proses akulturasi antara nilai-nilai keislaman yang masuk melalui jalur perdagangan dari Gujarat dengan unsur-unsur budaya lokal menghasilkan karakter yang khas pada kebudayaan masyarakat muslim di Indonesia.

Kombinasi antara dua entitas budaya yang berbeda ini, di samping juga unsur-unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk sebelumnya dan kebudayaan barat yang masuk pada era kolonial, menghasilkan keragaman budaya yang sangat kaya.

Seiring waktu, kekayaan budaya ini mengalami pasang dan surut, sehingga berbagai upaya pelestarian dibutuhkan agar tidak ditelan zaman. Hal inilah yang mendasari munculnya gagasan pendirian Museum Istiqlal di kawasan wisata Taman Mini Indonesia Indah. Museum yang berdiri berdampingan dengan Museum Bayt Al-Qur'an ini sejak awal dicita-citakan untuk merepresentasikan kekayaan karya seni budaya Indonesia bernapaskan Islam.




Keragaman suku membuat peninggalan budaya Islam di setiap daerah di Indonesia masing-masing memiliki warna tersendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya koleksi benda peninggalan dari berbagai daerah yang ditampilkan di museum ini. Benda-benda peninggalan yang terdiri dari karya arsitektur, senjata, manuskrip, hiasan, busana, beraneka jenis kerajinan tangan, dan karya seni kaligrafi diharapkan dapat membuka mata masyarakat awam akan kekayaan budaya Islam yang dimiliki nusantara.

Di antara koleksi museum ini antara lain arsip foto arsitektur masjid-masjid di berbagai pelosok tanah air. Di samping itu, ditampilkan pula beraneka jenis pakaian tradisional yang mencerminkan pengaruh keislaman yang kuat seperti busana tradisional Aceh, aneka tenun songket dari beberapa daerah di Sumatera, dan aneka motif tekstil baik tradisional maupun kontemporer. Terdapat pula beberapa naskah kuno berbahasa arab, berbagai guci tanah liat, dan replika batu nisan yang menjadi bukti awal eksistensi keberadaan masyarakat Islam di Indonesia.





Pembahasan

1.     Pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia

Ada beberapa pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia yaitu:

a.        Islam masuk ke Indonesia abad VII M. Hal ini didasarkan pada bukti adanya perkampungan Islam di sekitar Selat Malaka. Juga catatan Dinasti Tang yang memberitakan bahwa pada abad abad VII M telah ada pemukiman pedagang Arab di Baros, Sumatera utara. Hasil keputusan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, di Medan pada tahun 1963 juga menyebutkan bahwa islam masuk ke Indonesia abad ke VII M.

b.        Islam masuk ke Indonesia abad XI M. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M, di Leran Gresik.

c.        Islam masuk di Indonesia abad XIII M. Hal ini berdasarkan catatan Marcopolo yang memberitakan Marcopolo yang memberitakan adanya masyarakat muslim di Perlak pada akhir abad XIII M. Menurut K.F.H. Van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan pase (kerajaan pasai) di aceh pada 1298M.

    Dari pendapat-pendapat tersebut di atas memberi gambaran bahwa proses masuknya Islam di Indonesia tidak dilakukan secara bersamaan untuk tiap daerah. Namun sedemikian para ahli sependapat bahwa pengaruh Islam pertama kali muncul di Pulau Sumatera. Hal ini ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan di pulau ini sebagai sebuah kerajaan Islam.
    
2.Tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam ke Indonesia

a.        Abdur Rauf Singkel

        Abdur Rauf Singkel adalah seorang ulama’ besar yang lahir di kota Singkel, Aceh. Nama aslinya adalah Abdur Rauf al-fansuri dan disebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Ia adalah seorang yang pertama kali mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Ia menulis berbagai bidang ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf. Kitab tafsirnya merupakan kitab pertama di Indonesia. Ia memiliki 21 karya tulis yang terdiri dari kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqih dan kitab tasawuf.

b.        Muhammad Arsyad al Banjari

Muhammad Arsyad al Banjari adalah seorang ulama’ yang sangat berpengaruh dan berperan penting dalam sejarah Islam khususnya di Kalimantan. Ia lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1710 M. Hasil karyanya yang terbesar adalah sebuah kitab yang berjudul Sabilul Muhtadun (Jalan orang yang mendapat petunjuk). Kitab ini menjadi pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

c.       Walisongo

 Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para walisongo. Walisongo artinya Sembilan wali yang dianggap dekat dengan Allah SWT dan terus menerus beribadah kepadaNya. Selain sebagai ulama’, walisongo juga mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan politik pemerintahan sehingga mereka diberi gelar “Sunan” yang berasal dari bahasa Jawa “Susuhunan” yang berarti junjungan, yaitu gelar yang biasa digunakan untuk raja di Jawa. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras walisongo. Dengan kepiawaiannya, walisongo menggunakan unsur-unsur budaya lama dan sedikit demi sedikit mereka memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam unsur lama.

Para wali yang termasuk dalam Walisongo adalah sebagai berikut :

1.       Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Syeh Maghribi panggilan akrabnya, karena berasal dari daerah Magribi, Afrika Utara. Adalah orang Islam pertama yang masuk Jawa. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2.       Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Camboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim
Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Suanan Ampel menginginkan masyarakat menganut keyakinan Islam yang murni.

Sejarah dakwahnya
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi istri Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3.       Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)

Beliau dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makamnya berada di kota Gresik. Memusatkan dakwahnya di Tuban Metode dakwahnya menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari wayang dan musik gamelan. Nama-nama dewa diganti dengan nama-nama Malaikat. Beliau wafat di Tuban 1525.
Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang. Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.




Tombo Ati (Obat Hati)
Masuk Kategori: Hikmah
Tombo Ati (Obat Hati)
Tombo Ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo iso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti ALLOH nyembadani

Obat Hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Gusti Allah mencukupi


4.       Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga)

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang. Kalijaga adalah perpaduan bhs. Arab qadi zaka (pemimpin yang menegakkan kebersihan dan kesucian). Dakwahnya intelektual dan aktual sehingga para bangsawan dan cendekiawan banyak yang bersimpati padanya. Beliau yang mengembangkan wayang menjadi media dakwah dengan cerita bercorak Islami. Mengembangkan seni suara, seni ukir, seni busana dan seni pahat dan kesusastraan.

Sejarah Hidup
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (”Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

5.       Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)

Nama asli Raden Paku,putra dari Raden Maulana Ishak. Pendiri dan pembina pesantren di Giri dengan mengkader muridnya menjadi juru dakwah yang dikirim ke Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Pendidik yang berjiwa demokratis melalui berbagai permainan yang berjiwa agama, seperti jelungan, gendi ferit, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir. Beliau wafat di Giri-Gresik 1506.
Di masa kecilnya Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel dan berkenalan dengan Sunan Bonang. Disebutkan bahwa Sunan Giri dan Sunan Bonang kemudian bersama-sama pergi belajar ke tanah Arab. Setelah kembali ke Jawa, ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah ia yang sebelumnya dikenal dengan nama Raden ‘Ainul Yaqin, mulai dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

6.       Raden Qosyim Syarifuddin (Sunan Drajat)

Raden Qosim/ Syarifuddin adalah nama aslinya, putra dari sunan Ampel. Dakwahnya dengan menggunakan pendekatan kultural. Yakni dengan menciptakan tembang pangkur. Perhatian serius pada masalah sosial dan orientasi kegotong royongan. Beliau wafat di Sedayu-Gresik abad ke-16.







Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama keciI Syari­fuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Beliau memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin, terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :
Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada) Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)  Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu) Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur). Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu) Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).

7.       Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)

Nama aslinya Jakfar Sadiq. Menyiarkan agama di daerah kudus dan sekitarnya.ahli dalam ilmu fiqh, usul fiqh, tauhid, hadis dan tafsir. oleh karena itu beliau dijuluki waliyulilmi. Penyebaran agamanya dilakukan dengan pendekatan kultural, menciptakan berbagai cerita agama, gending mijil. Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi AryaPenangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak. Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus. Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.


8.       Raden Said (Sunan Muria)

Adalah putra Sunan Kalijaga dengan nama asli Raden Umar Sa’id, nama kecil Raden Prawoto.Memusatkan kegiatan dakwahnya di gunung Muria 18 km sebelah utara kota Kudus.
Menjadikan desa-desa terpencil sebagai pusat dakwahnya pembelajaran agama dengan cara kursus-kursus untuk kaum pedagang, nelayan, dan rakyat biasa.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.


9.       Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.Lahir di Mekkah 1448 adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Mengembangkan ajaran Islam di Cirebon, Majalengka, Kuningan, Kawali, Sunda Kelapa dan Banten.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.


Dari penjelasan di atas disebutkan bahwa tokoh-tokoh yang menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah Abdur Rauf Singkel, Muhammad Arsyad al-Banjari dan walisongo. Meskipun dalam buku-buku lain disebutkan bahwa yang menyebarkan Islam di Indonesia hanya Walisongo, akan tetapi ada tokoh lain selain walisongo.

3.Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam

      Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua atau lebih) yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut tidak hanya bersifat material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

a.    Wujud Budaya
Seperti Masjid kuno Agung Demak, Masjid Gunung Jati Cirebon dan Masjid Kudus.

b.    Seni Rupa
Makam dalam tradisi Islam di Indonesia, berbentuk nisan batu atau marmer dan bermahkota seperti kubah masjid terkadang berhiaskan tulisan kaligrafi atau arabeska. Contoh: Makam Sultan Malikus Shaleh di Samudra Pasai, makam para Wali di Jawa.

c.    Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan arab, bahkan berkembang yang dikenal dengan istilah arab gundul yaitu tulisan arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa melayu tetapi tidak menggunakan harakat seperti lazimnya tulisan arab. Disamping itu juga huruf arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan atau ukiran dan gambar wayang.  Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu-Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Bentuk-bentuk seni sastra yaitu seperti Hikayat, Pantun, Gurindam, Syair, Macapat, Suluk.

d.        Sistem Pemerintahan
 Dalam pemerintahan sebelum Islam masuk Indonesia sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan. Seperti Wali apabila meninggal tidak lagi dimakamkan di Candi tetapi dimakamkan secara Islam.





e.    Sistem Kalender
     Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal kalender saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
    Setelah berkembangnya Islam, Sultan agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan komariyah seperti tahun hijriyah (Islam). Pada Kalender Jawa Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari sesuai dengan bahasa arab dan bahkan hari pasaran pada kalender Saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatnya tanggal 8 Agustus 1633 M.
     Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa menyebarnya agama Islam lebih cenderung menggunakan budaya lokal atau budaya yang berlaku pada masyarakat sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat dari pada menentangnya dengan melalui budaya lokal dipadukan dengan budaya Islam. Dengan begitu dalam waktu yang tidak lama agama Islam mulai dikenal.


Daftar Pustaka
       Charis, Abdul dkk. LKS Sejarah Kebudayaan Islam kelas IX Semester1. Kudus:LP Ma’arif NU Cabang Kudus. Tanpa tahun.
Tim  Penyusun  Kamus  Pusat  Pembinaan  dan  Pengembangan  bahasa.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1995.
Gunawan, Adi. Tt. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika.
Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000.
Suyanto. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2006.
Tim Penyusun. LKS Sejarah Kebudayaan Islam kelas IX Semester2. Kudus:  LP Ma’arif NU Cabang Kudus. Tanpa tahun.
Http://mustaqim.wordpress.com/
Http://sejarahwan.wordpress.com/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar